Translate

Sunday, December 15, 2019

Sebercanda Itu

Di duniaku, semesta kadang sebercanda ini. Entah bagaimana di duniamu. Saat mencoba bersetia, mereka berkhianat tanpa alasan yang bisa kuduga. Saat mencoba tulus, mereka berkebalikan penuh kepentingan. Tidak dianggap, dijauhi pelan-pelan, menjadi yang terlupakan, disingkirkan saat tak lagi dibutuhkan seperti tontonan komedi yang berulang.

Dunia seperti berlomba membuatku trauma. Seperti mencoba memaksaku berpikir berbuat baik adalah sebuah kesalahan. Semesta seperti berkonspirasi memisahkanku dari harapan, membuatku begitu susah percaya kepada orang. Walau terkadang rasanya seperti dipermainkan, Walau getirnya tak tertahankan tapi aku tetap jabat erat takdirku, aku orang yang percaya pada janji baik kehidupan. Semesta akan membangkitkanku dengan cara indahnya, seperti sebuah pertemuan di Solo baru  denganmu misalnya.

Solo, entah kenapa dari kecil batinku selalu menolak ke arah sana. Bilapun melintas, secepatnya aku ingin melewatinya. Sebenarnya kota yang cantik, tapi cantik itu luka, kan. Solo baru agak berbeda, batinku bisa merasakannya dan cerita penjual bubur ayam di depan hotel tempat kita bertemu meyakinkannya. Apa kau tahu, dulu inilah salah satu tempat paling membara saat kerusuhan awal reformasi, bakar membakar tragedi. Namun kini bangkit lagi. Menjadi hidup. Tempat yang bagus untuk belajar berdiri, berjalan, membuka mata, hati, pikiran.

Seperti saat memperhatikanmu diam-diam di depan pintu, di meja panitia. Saat kau sendirian dan mungkin tak sadar aku ada. Hanya ada kita berdua berjarak keterasingan dan diam. Mengingatkanku pada cinta pertama, hanya bisa terpaku saja, tak ada kata hanya ada bahasa hening sambil menghafal mimik wajah dan gerakanmu. Aku tak mampu bergerak, tak mampu menebak, otak tetiba mati, tak punya kemampuan berpikir lagi. Seperti berjumpa bencana, kudengar ada yang jatuh di hatiku, hanya kuat bersimpuh di pojok ruangan sambil mencuri pandang. Dan  kurasakan makhluk aneh bersayap di dalam dadaku itu mengepak lagi setelah bertahun diam, Makhluk aneh yang suka bercanda denganku saat kurasakan rasa itu. "Apa kabarmu? Lama tak berjumpa.." Dan dia tertawa, aku juga tertawa, Menertawakan aku bersama, "Sialan, rasanya seperti kembali jadi pemula." Pemula yang hanya berani memandang dari bangku paling belakang di sekolahan, hanya berani menulis puisi tapi tak mampu memberi. Yang suka tersenyum sendiri saat selesai berpapasan. Yang senang bercerita kepada Tuhannya, tentangmu. Yang menikmati kesibukan barunya saat merindukanmu.

Pemula yang tetiba lupa segala sakit dan keengganannya pada dunia. Yang menganggap pernikahan adalah kekonyolan. Kau adalah pencerahan baru langkah hidupku. Tak tahu nama, tak tahu statusnya, tak tahu agamanya apa, apakah sudah punya pacar, apakah sudah menikah, apakah sudah punya anak,  tak tahu segalamu tapi apa peduliku. Berjumpa denganmu adalah awal kebangkitanku walau setelahnya aku tak karuan. Aku bersyukur banyak hari itu, meskipun kupikir kau hanya sekedar bintang jatuh atau kembang api yang indah melintas sebentar lalu padam lagi, itu cukup. Jiwaku tersembuhkan setelah tahunan tak punya alasan. Menjadi platonis sejati pun tak apa, asal hidup ada gairah lagi. Bernyawa.

Kembali dari Solo baru, aku menjadi orang baru. Rambut agak rapi, hidup agak rapi, bangun pagi walau belum mampu bersentuhan dengan kopi. Asam lambung sialan. Aku sering menggerutu bila ingat dirimu, mereka berpikir karena aku tak dapat uang saku perjalanan dinasku tapi bukan itu. Aku sering menyendiri di ruang band kantorku sambil berdiam memegang gitarku, mereka berpikir aku sedang berduka tapi bukan itu. Aku seperti pemula dulu cuma sekarang lebih dewasa, Aku tak sedang  berduka aku sedang menghadapi cinta. Dan makhluk aneh itu tertawa.

Aku blingsatan tapi tak ada yang kusalahkan. Dalam renungan teringat doa lama dulu. Usai berhadapan dengan luka terhebatku. "Tuhanku, Yang Maha Pengertian. Aku tak minta banyak dalam kehidupan. Dipercaya menjalani takdirku adalah sebuah kebahagiaan. Aku cuma minta, bila ada takdir pernikahan, beri tanda dan ijinkan semesta bekerja untukku dan dia. Aku minta kisahnya seru, tak bisa ditebak, mendebarkan, tak mampu kujangkau dengan pikiran. Dan di akhir nanti aku ingin kisah romantis yang bisa mempermudah diriku menjelaskan kepada anak cucuku tentangMu. Bahwa Kau Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Asyik dan Seru, Maha Indah dalam segala kuasaMu."

Aku tak karuan tapi tak ada yang kuperdebatkan. Ini jelas gegara mauku yang diwujudkan. Semesta bekerja tak terduga. Bintang jatuh itu ternyata punya nama, punya kota dan nomor WA juga. Duniaku benar berubah adanya, semestaku berotasi padamu dan kotamu menjadi ibukota rinduku. Sebelum WA-ku kepadamu beberapa perjalanan malam telah kulalui di kotamu. Bangku pinggir jalan, beberapa manusia malam dan percakapan, gapura menuju kampungmu yang kadang kupandang lama dalam diam. Hape yang sengaja kumatikan internetnya agar tak menggangu istirahatmu dengan WA-ku. Aku menjadi seperti setengah Umbu Landu Paranggi, yang suka memandang kota cintanya lalu pergi lagi. Berkali-kali. Aku menjadi platonis lagi namun tak utuh karena makhluk aneh itu kini makin dewasa adanya. Nasihat baik yang diberinya walau kadang seperti bercanda, seperti Wa saat aku pertama bilang aku ada di kotamu, saat gelagapan ditebak bapak tua tukang parkir yang membuatku tertawa sendirian sepanjang perjalanan pulang. " Kau tak bisa membohongiku, kau sedang jatuh cinta kan, kau sedang mencari rumahnya.. " dan aku aku hanya bisa berkata.. "Sikak!" sambil tertawa berdua di jam 11an malam bersamanya.

Kotamu indah, hanya kurang hujan dan seseorang. Dirimu, tepatnya. Dan kau beruntung saat pertama kali aku bilang di kotamu kita tak bertemu. Yang paling ingin kulakukan saat itu hanya akan bertemu orangtuamu sambil meminta maaf, " Maaf saya mencurigai anak anda sebagai jodoh saya, dan yang saya mau tak sekedar cinta darinya, sesuatu yang lebih. Menikah dan beranakpinak dengannya."

Yang akan kukatakan padamu di malam itu, "Aku malas berbasabasi. Aku tak peduli masalalumu, aku berpikir tentang masa baru, masa depanmu. Semua pahit yang terjadi di masa lalumu, maafkanlah aku, salahku tak ada di dekatmu waktu itu. Kalau kau jodohku, aku benar-benar minta maaf aku tak tertarik  pacaran dengamu, aku ingin menikah dan membuatmu bahagia setiap harinya. Membuatmu tersenyum sebanyak mungkin seperti yang kutangkap dalam kamera.  Aku benar-benar minta maaf begitu malas dan bodohnya mencarimu dulu. Tak ada di saat-saat susahmu, tak hadir di saat kecewa dan kesendirianmu. Aku bukan ahli menebak tapi cantik itu luka dan matamu pernah memandangku, kemudian sedikit bercerita."

"Kalau kau bukan jodohku, itu pun tak apa. Hanya sedikit mengurangi rasa bahagiaku tapi tetap mengenyangkan rasa bersyukurku. Tak kupermasalahkan, Kadang duniaku memang sebercanda itu.."

"Dunia memang sebercanda itu..." Makhluk aneh bersayap itu tertawa sambil mengiyakan yang kukata mengitari cincin emas di kalungku.


-Bangku, kopi dan bayanganmu
1 Desember 2019

Sunday, October 23, 2016

Parto Kelir, Mbak Yun dan Problemnya (Dalan Anyar)


Aku terbangun dari tidur siangku gara-gara pertengkaran hebat Parto Kelir yang lagi istirahat siang pulang ke rumahnya. Mbak Yun terlihat ganas tapi cantik seperti biasanya, membentak dan menuding ke wajah suaminya itu. TKP-nya di halaman rumahku.  Si Billy, anaknya Parto Kelir dan Mbak Yun yang baru kelas tiga SD dengan ciri khas  rambut kliwir mburi, malah nyantai banget. Bersama teman-temannya yang pulang cepat dari sekolah gara-gara gurunya mau demo minta kejelasan nasibnya sebagai guru wiyata yang terlunta-lunta, asyik nonton dan nyorakin nambah semangat yang lagi bertengkar. Mereka pikir ini mungkin semacam sinetron yang sering mereka tonton. Ini mungkin sisi baiknya tontonan televisi jaman sekarang. Mereka terbiasa melihat pertengkaran. Sayangnya sekarang ini di depan rumahku tidak ada KPI yang biasanya main sensor.

Parto Kelir cuma pakai kolor biru dengan perut yang membuncit kebanyakan ciu. Kumisnya terlihat semakin menebal mirip kumis polisi india berlawanan dengan rambut di kepalanya

Monday, October 17, 2016

Mau tak Mau (Mengingat Riko)


Mengingat Riko,
Mau tak mau aku harus mengingat kematian
Tentang pemakamannya di senja yang muram
Bertanya-tanya, senja semacam inikah
yang membuat seorang Subagio Sastrowardoyo
begitu patah hati, begitu menghindari.

Mengingat Riko,
Mau tak mau aku harus mengingat kepedihan
Mengapa tak aku atau kaumku saja yang pergi lebih dulu
Yang sudah begitu sinis berhadapan dengan dunia
Yang sudah terlalu banyak kehilangan gairah pada kehidupan
Begitu lelah, begitu merindukan pertemuan dengan Tuhan.


Mengingat Riko,
Mau tak mau aku harus mengingat kesakitan
Kurus kering di kursi rodanya, nyeri menjalar dari kanker di kaki
yang sudah tinggal kulit dan tulang dimakan keadaan
Tapi harapnya begitu tegak kembali menapak
Begitu riang, penuh keyakinan

Mengingat Riko,
Mau tak mau aku harus mengingat ketabahan
Senyum terakhirnya begitu menguatkan
Sempurnalah sudah semua perjalanan
Riko temukan bait terakhir seperti  Rendra
Tulisan yang begitu mendewasakan
"Aku Cinta Kau, Tuhan ..."


Selamat malam lagi, Riko
Apa kabar? Kita ketemu lagi di doa untukmu ya...
Berlarilah lagi di taman lapang Tuhan yang begitu kau cintai
(Riko, dalam kenangan. Teman, Saudara, adik, dan sahabat kami tercinta.. #BFF)




Thursday, September 10, 2015

Kepada Dik, (2)

Kepada Dik,

Yang hatinya macam sabana
pada kemarau musim harapnya
hamparan rumput kering dan belukar
digesek angin berkabar langsung terbakar

Aku mulai serius bertanya
rasa macam apa yang kau pinta
Aku mulai serius percaya
wanita tak sesederhana matematika

Mampuslah aku ini
badai disuruh
ninabobokkan bunga

Kalau benci bilang benci
Kalau rindu bilang rindu
Kalau cinta bilang cinta

Apa susahnya...



Friday, April 17, 2015

Jegeg,


Geg,
Kegelapan, tak pernah bisa
padamkan sedih.
Kesunyian, tak pernah bisa
membungkam sesal.

Tak lelahkah pecahi cermin?
Tak bosankah berkacakaca?

Hentikanlah hirup debu kutuk
sari tangis mereka yang kau lukai.
Bacalah kembali mantra suci
kidung pertama lahir ke dunia.
Keluarlah dari kubangan dendam.
Nurani terlampau lama
kau penjarakan.

Hapus gincumu.
Rapatkan kembali pahamu.
Beningkan putih matamu.
Buang riasan palsu di alismu.

Pijaklah lagi pasir tawa
Tarikanlah bahagia
yang tak beralaskan luka.
Bahagia yang sebenarnya.

Bahagia,
seperti senyum
bapak ibumu
ketika sambut
kelahiranmu...
.....................................