Catatan Harian Seorang Preman
Episode 1 : Aku Bukan Pengemis
Sebut saja namaku Jerry, orang usiran kota raya. Anak dari
seorang ayah yang kejujurannya menembus dadaku setiap hari. Anak dari seorang
ibu yang ketulusan dan kasih sayangnya membungkus hariku lebih hangat dari kulitku sendiri.
Ayahku pekerjaannya seperti Tuhan di salah satu keyakinan di
negeri ini, Dia seorang tukang kayu dengan jiwa yang sangat sederhana. Ibuku
seorang pedagang keliling yang menjual gorengan dan makanan kecil di dekat
rumahku. Mereka orang kampung yang mencoba mengadu nasib di kota demi masa
depan yang lebih. Oya, aku tinggal di pinggiran kota raya, di sebuah rumah kontrakan
sederhana dekat komplek lokalisasi.
Hal terakhir yang kuingat dari dari ayahku, Dia meninggal saat ikut sebuah
proyek. Terjatuh dari lantai atas.
Bayang yang kuingat saat itu aku kelas 3 SD, tiba-tiba saat di sekolahan tetanggaku menjemputku menyuruh pulang. Dengan tergesa aku berlari ke rumah. Yang kulihat rumahku lebih ramai dari biasanya namun tak ada orang yang tertawa. Hanya tatapan kasihan yang tak bias ku lupa dari mereka. Memandang anak dg celana merah memudar dan baju putih kekuninganku. Satu dua orang mengelus kepalaku dan kemudia aku disambut tangis ibu yang memelukku dengan erat, sangat erat dan berucap halus tapi perihnya tak akan pernah kulupa. “ Bapak sudah pulang.. “
Bayang yang kuingat saat itu aku kelas 3 SD, tiba-tiba saat di sekolahan tetanggaku menjemputku menyuruh pulang. Dengan tergesa aku berlari ke rumah. Yang kulihat rumahku lebih ramai dari biasanya namun tak ada orang yang tertawa. Hanya tatapan kasihan yang tak bias ku lupa dari mereka. Memandang anak dg celana merah memudar dan baju putih kekuninganku. Satu dua orang mengelus kepalaku dan kemudia aku disambut tangis ibu yang memelukku dengan erat, sangat erat dan berucap halus tapi perihnya tak akan pernah kulupa. “ Bapak sudah pulang.. “
Kemudian kutatap ayahku yang telah dibungkus kain kafan,
Wajah hangatnya terlihat dingin. Aku ingin menangis tapi air mata terasa
kering. Hanya perih dan perih saja yang menjalari tenggorokan dan dadaku.
Kupeluk bapak lebih erat dari pelukan ibu padaku. Ku kecup keningnya berharap
dia terbangun sama seperti yang biasa kulakukan setiap pagi untuk
membangunkannya. Kupanggil bapak tak ada hentinya. Kemudian ibu memelukku lagi,
“ Bapak sudah pulang,nak.. “
Kata yang tak bisa kupahami artinya, pulang kemana. Setelah
itu perih tak tertahan lagi di dadaku. Hanya gelap dan gelap yang ada di
sekelilingku. Aku pingsan di pelukan ibu. Yang kuingat setelah itu hanya ramai orang
berdoa malamnya di rumahku dan ada bendera kuning di depan rumahku serta tak ada lagi hangat wajah bapak di rumahku.
Mungkin istilah belahan jiwa bukan sekedar istilah tapi
nyata adanya. Setelah bapak tak ada sepertinya jiwanya tinggal setengah saja di
dunia ini. Wajahnya tak pernah secerah dulu. Tapi setengahnya lagi benar – benar
untukku. Namun apa daya, nyala hidupnya semakin memudar. Entah penyakit apa
yang menjalarinya yang kutahu setelah itu ibu juga pulang dengan kain kafan dan
bendera kuning di depan rumah. Aku sendirian,benar – benar sendirian. Menatap
dua nisan orang yang paling aku sayangi dan orang yang paling menyayangiku, Ibu
telah pulang menemani bapak, pikirku.
Awalnya ada satu dua orang tetangga yg merawatku tapi aku
sudah tak peduli lagi. Semua hampa,semua sunyi. Kemudian ada orang panti asuhan
yang membawaku tapi di malam pertama pun aku sudah melarikan diri. Menerobos
pagar dan berlari. Tak tahu arah dan berlari terus sampai aku terjatuh kemudian
hujan turun deras. Aku tak mampu bangun, Yang terbayang hanya wajah bapak dan
ibu dan aku terkapar entah berapa lamanya dalam genangan air sampai kemudian
ada seorang gelandangan yang membopongku berteduh di pinggir sebuah ruko.
Dingin hujan tak bisa kurasakan, yang kuingat setelah itu hanya
hangat yg mengalir lewat tetesan air mataku. Setelahnya aku bertanya arah
kepada gelandangan itu ke tempat kampungku. Aku berlari terus tak mempedulikan
hujan dan mulai mengenal arah sekitarku. Hanya satu yang ku tuju, makam ayah
dan ibuku. Kemudian aku sampai disana,memeluk nisan mereka dan menangis
sekeras- kerasnya. Sepertinya tak ada yang mendengar, hanya nisan dan tanah
basah pemakaman yang menemaniku. Tak ada suara bapak ataupun ibu.
Hangat mentari pagi membangunkanku, kepalaku pusing,badanku
gemetar. Aku kuatkan langkah berjalan menuju rumahku tapi sesampainya disana
sudah ganti penghuni. Barangku dan peninggalan orang tuaku entah kemana tak
jelas adanya. Ada satu dua tetangga yang mengenaliku dan mencoba menghiburku
namun entah kenapa aku tak berada lama di situ. Melihat jalan itu,halaman dan
bekas rumahku membuatku perih setengah mati dengan kelebatan kenangan bapak dan
ibu.
Minggu pagi seingatku, aku berlari lagi sambil menahan
lapar,pusing dan perih di dadaku. Langkahku terhenti di sebuah gerbang halaman
gereja. Aku kemudian duduk disana denga tubuh dekil dan baju serta celana yang
tak jelas lagi bentuknya. Satu dua orang yang akan menjalani kebaktian menatapku,
ada tatapan menghina, ada yang
mengulurkan uang kepadaku tapi aku ingat pesan bapak saat dulu sering
mendongeng sebelum aku tidur. Jangan pernah menjadi pengemis, Karena itu adalah
pekerjaan paling hina di dunia ini. Entah jiwa macam apa yang ada di dadaku
saat itu,yang ada hanya emosi dan panas tercabik harga diri. kulemparkan uang
itu kembali pada mereka dan berteriak keras “Aku bukan pengemis!!!”
No comments:
Post a Comment