Translate

Monday, July 21, 2014

Catatan Harian Seorang Preman



Catatan Harian Seorang Preman

Episode 1 : Aku Bukan Pengemis

Sebut saja namaku Jerry, orang usiran kota raya. Anak dari seorang ayah yang kejujurannya menembus dadaku setiap hari. Anak dari seorang ibu yang ketulusan dan kasih sayangnya membungkus hariku lebih  hangat dari kulitku sendiri. 

Ayahku pekerjaannya seperti Tuhan di salah satu keyakinan di negeri ini, Dia seorang tukang kayu dengan jiwa yang sangat sederhana. Ibuku seorang pedagang keliling yang menjual gorengan dan makanan kecil di dekat rumahku. Mereka orang kampung yang mencoba mengadu nasib di kota demi masa depan yang lebih. Oya, aku tinggal di pinggiran kota raya, di sebuah rumah kontrakan sederhana dekat komplek lokalisasi. 

Hal terakhir yang kuingat dari  dari ayahku, Dia meninggal saat ikut sebuah proyek. Terjatuh dari lantai atas.
Bayang yang kuingat saat itu aku kelas 3 SD, tiba-tiba saat di sekolahan tetanggaku menjemputku menyuruh pulang. Dengan tergesa aku berlari ke rumah. Yang kulihat rumahku lebih ramai dari biasanya namun tak ada orang yang tertawa. Hanya tatapan kasihan yang tak bias ku lupa dari mereka. Memandang anak dg celana merah memudar dan baju putih kekuninganku.  Satu dua orang mengelus kepalaku dan kemudia aku disambut tangis ibu yang memelukku dengan erat, sangat erat dan berucap halus tapi perihnya tak akan pernah kulupa. “ Bapak sudah pulang.. “ 

Kemudian kutatap ayahku yang telah dibungkus kain kafan, Wajah hangatnya terlihat dingin. Aku ingin menangis tapi air mata terasa kering. Hanya perih dan perih saja yang menjalari tenggorokan dan dadaku. Kupeluk bapak lebih erat dari pelukan ibu padaku. Ku kecup keningnya berharap dia terbangun sama seperti yang biasa kulakukan setiap pagi untuk membangunkannya. Kupanggil bapak tak ada hentinya. Kemudian ibu memelukku lagi, “ Bapak sudah pulang,nak.. “

Kata yang tak bisa kupahami artinya, pulang kemana. Setelah itu perih tak tertahan lagi di dadaku. Hanya gelap dan gelap yang ada di sekelilingku. Aku pingsan di pelukan ibu.  Yang kuingat setelah itu hanya ramai orang berdoa malamnya di rumahku dan ada bendera kuning di depan rumahku serta tak ada lagi hangat wajah bapak di rumahku. 

Mungkin istilah belahan jiwa bukan sekedar istilah tapi nyata adanya. Setelah bapak tak ada sepertinya jiwanya tinggal setengah saja di dunia ini. Wajahnya tak pernah secerah dulu. Tapi setengahnya lagi benar – benar untukku. Namun apa daya, nyala hidupnya semakin memudar. Entah penyakit apa yang menjalarinya yang kutahu setelah itu ibu juga pulang dengan kain kafan dan bendera kuning di depan rumah. Aku sendirian,benar – benar sendirian. Menatap dua nisan orang yang paling aku sayangi dan orang yang paling menyayangiku, Ibu telah pulang menemani bapak, pikirku.

Awalnya ada satu dua orang tetangga yg merawatku tapi aku sudah tak peduli lagi. Semua hampa,semua sunyi. Kemudian ada orang panti asuhan yang membawaku tapi di malam pertama pun aku sudah melarikan diri. Menerobos pagar dan berlari. Tak tahu arah dan berlari terus sampai aku terjatuh kemudian hujan turun deras. Aku tak mampu bangun, Yang terbayang hanya wajah bapak dan ibu dan aku terkapar entah berapa lamanya dalam genangan air sampai kemudian ada seorang gelandangan yang membopongku berteduh di pinggir sebuah ruko.  

Dingin hujan tak bisa kurasakan, yang kuingat setelah itu hanya hangat yg mengalir lewat tetesan air mataku. Setelahnya aku bertanya arah kepada gelandangan itu ke tempat kampungku. Aku berlari terus tak mempedulikan hujan dan mulai mengenal arah sekitarku. Hanya satu yang ku tuju, makam ayah dan ibuku. Kemudian aku sampai disana,memeluk nisan mereka dan menangis sekeras- kerasnya. Sepertinya tak ada yang mendengar, hanya nisan dan tanah basah pemakaman yang menemaniku. Tak ada suara bapak ataupun ibu. 

Hangat mentari pagi membangunkanku, kepalaku pusing,badanku gemetar. Aku kuatkan langkah berjalan menuju rumahku tapi sesampainya disana sudah ganti penghuni. Barangku dan peninggalan orang tuaku entah kemana tak jelas adanya. Ada satu dua tetangga yang mengenaliku dan mencoba menghiburku namun entah kenapa aku tak berada lama di situ. Melihat jalan itu,halaman dan bekas rumahku membuatku perih setengah mati dengan kelebatan kenangan bapak dan ibu. 

Minggu pagi seingatku, aku berlari lagi sambil menahan lapar,pusing dan perih di dadaku. Langkahku terhenti di sebuah gerbang halaman gereja. Aku kemudian duduk disana denga tubuh dekil dan baju serta celana yang tak jelas lagi bentuknya. Satu dua orang yang akan menjalani kebaktian menatapku,  ada tatapan menghina, ada yang mengulurkan uang kepadaku tapi aku ingat pesan bapak saat dulu sering mendongeng sebelum aku tidur. Jangan pernah menjadi pengemis, Karena itu adalah pekerjaan paling hina di dunia ini. Entah jiwa macam apa yang ada di dadaku saat itu,yang ada hanya emosi dan panas tercabik harga diri. kulemparkan uang itu kembali pada mereka dan berteriak keras  “Aku bukan pengemis!!!”

No comments:

Post a Comment