Translate

Sunday, November 30, 2014

Mencari Takut di Belaian Rahwana ( Pendakian di Lereng Gunung Ungaran )


Malam Packing ke Merbabu
"Menjelajahi gunung kecil tapi tak jelas rutenya jauh lebih berbahaya bila dibandingkan dengan Menjelajahi gunung yang besar tapi dengan penunjuk arah pasti! "

Sebenarnya rencana di akhir minggu ini adalah pendakian ke Gunung Merbabu tapi karena ada keperluan yang mendesak akhirnya batal padahal sudah packing tinggal berangkat. Sebagai penawar, saya ganti dengan napak tilas masa kecil dulu, jalur alternatif yang saat kecil  jadi jalur berpetualang menuju kawah di kompleks wisata Candi Gedong Songo. Bagi saya, Gunung Ungaran adalah tentang Rahwana. Cerita mitos tentang Gunung ini adalah tempat bersemayamnya Rahwana. Kawah belerangnya adalah nafas Rahwana. Dan patung Hanoman adalah segel pengunci terlelapnya Rahwana. Cerita yang banyak saya dengar dari orang - orang tua dulu waktu masih kecil. Jalur yang akan saya tempuh konon ceritanya adalah jalur tua yang biasa digunakan penduduk lereng jaman dulu  untuk beribadah,membawa sesaji ataupun bertapa menuju kompleks candi.

Gunung Gendol (Anak Gunung Ungaran ). Gunung Ungaran tertutup kabut.


Sejak kecil, lereng Gunung Ungaran adalah misteri besar bagi saya. Lebih menarik dari misteri segitiga bermuda. Seperti ada kutub magnet kuat yang menarik imajinasi dan adrenaline untuk menjelajahinya. Kalau puncak gunungnya entah sudah berapa kali  mencapainya sampai tidak bisa menghitungnya secara pasti  tapi lerengnya masih banyak yang perawan dan belum pernah saya jelajahi dengan rinci. Lereng itu sementara ini di benak dan memori kebanyakan masih tentang mitos dan cerita yang tidak pasti faktanya. Konon di Gunung Gendol ( Anak gunung di lereng Gunung Ungaran, bisa ditempuh lewat jalur Watu Kodok dekat perkemahan Bantir ) masih bisa ditemui hewan - hewan langka seperti harimau jawa. Saking misteriusnya katanya beberapa tahun silam sempat dijadikan perkebunan ganja karena jarang ada yang berani menjelajahinya. Banyak lagi cerita lain seputar lereng dari mulut ke mulut baik tentang yang natural maupun supranatural.

Kalau disebut pendakian mungkin kurang tepat karena tidak mencari puncak tapi mencari "sesuatu yang hilang " dari dalam diri saya. Sesuatu yang menghilang pada hari dimana saya kehilangan cinta,mimpi dan
harapan terbesar beberapa tahun silam. Hari yang kalau  mengingatnya rasanya ingin berlari sejauh - jauhnya dari kenyataan. Saya putus cinta dengan wanita yang paling saya seriusi dalam hidup. Nyaris di DO dari kampus karena tidak bisa melengkapi beberapa persyaratan. Berhenti kerja di kantor akuntan publik yang saya jalani sambil kuliah. Titik puncak dalam mengecewakan diri sendiri, orangtua, saudara dan juga wanita yang mempercayai sepenuh hati. Semua peristiwa itu terjadi hanya berselang jam dan cuma dalam satu hari saja, beruntun seperti tabrakan karambol. Benar adanya ungkapan dalam bahasa Inggris "When it rains, it pours" ketika kejadian buruk datang, datangnya bertubi-tubi.

Hari dimana saya kehilangan kepercayaan diri. Kehilangan rasa takut. Kehilangan sebagian kedekatan pada Tuhan.

Untuk kepercayaan diri dan kedekatan pada Tuhan, saya sudah menemukan jalan kembali. Tapi untuk kehilangan rasa takut entah bagaimana membangkitkannya. Saya tak takut pada maut, tidak juga pada kerasnya tantangan kehidupan. Tidak takut pada manusia, setan, iblis bahkan pada Tuhan. Khusus untuk Tuhan, saya tidak takut tapi lebih ke cinta dan sayang.

Sebenarnya kemarin kalau berdasar perhitungan jawa adalah hari apes saya. Itu berdasarkan wejangan seorang Dosen di sebuah Universitas di Jakarta tapi juga masih kerabat Keraton Jogja dengan gelar yang mirip - mirip Om Roy mantan Menpora. Diberikannya kepada saya waktu tak sengaja bertemu pada masa berkelana di lereng Merapi. Tapi entah kenapa karena kehilangan rasa takut jadi tidak mempedulikannya dan malah penasaran ingin menguji "keapesan" . 

Saya awali packing kecil - kecilan pukul 9 pagi. Cuma bawa minuman isotonik, obat - obatan dan cokelat serta beberapa sobekan kain sebagai tindakan jaga - jaga, bisa jadi pembalut luka serbaguna. Oia tak lupa rokok kretek dan filter serta permen karet dan snack. Sebenarnya tak ada tujuan pasti, cuma penawar kegagalan rencana awal. Daripada tak ada misi maka perjalanan kali ini adalah untuk riset dan menambah ide lanjutan menulis novel. Tak lupa misi lama yang belum saya temukan jawabnya, menantang nyali mencoba lagi merasakan takut yang lama tak hinggap di hati. Setelahnya selesai packing, mampir sebentar ke tempat seorang senior pecinta alam jaman dulu. Saya punya janji memperbaiki laptopnya serta mengcopykan beberapa film baru. 

"Keapesan" sepertinya dimulai di sini. Wanita dari masa lalu yang saya kira masih ada di Jakarta ternyata mau kesitu. Wanita yang paling saya seriusi dulu itu memang masih ada hubungan saudara dengan senior saya. Sejak putus dulu kami tidak pernah berhubungan lagi sama sekali. Untung saya datang kesitu sebelum dia sampai. Istri senior saya itu bahkan mengiranya kami janjian. Tergesa - gesa saya membetulkan laptop dan mengcopykan film setelahnya langsung pamit mau jalan - jalan ke lereng gunung. Satu " keapesan " berhasil dihindari. Kalau dianalogikan bila saya superman maka dia adalah kriptonnya. Saya gak pernah bisa kuat dekat dia. Satu alasan lagi karena dia sudah nikah. Tidak ingin ada gosip yang ngawur kalau sampai ketemu dia.Bukannya takut tapi cuma tindakan preventif saja.

Pemandangan dari sebuah gubug

Pukul 10an lebih sedikit, udara sejuk. Angin tak keras tak juga melemah, sedang - sedang saja. Mendung tipis membisu. Surya tertidur tak tampak sinarnya  tapi ada feeling berkata; "Ini akan jadi perjalanan yang berat.. " bisiknya. Sebenarnya kalau waktu normal palingan cuma 1 sampai 1,5 jam perjalanan makanya tidak membawa perbekalan macam - macam. Dimulai dari jalan kampung melewati dua desa dan dua kompleks pemakaman setelahnya memasuki area pertanian di lereng gunung. Dulu area itu adalah lautan asparagus dan strowberry tapi sekarang berubah menjadi area pertanian biasa.

Angin sejuk menyapa dengan segarnya, bersamaan juga dengan sapaan para petani yang dengan ramah bercampur heran di masa sekarang masih ada yang melalui jalur itu utuk menuju candi. Alam memang tidak bisa ditebak, mendadak mendung datang berkoalisi memanggil teman - temannya dan hujan turun dengan derasnya menemani perjalanan tanpa merasa bersalah sedikitpun kepada saya. Sempat berhenti di beberapa gubuk sambil ngobrol dengan beberapa petani. Santai merokok sambil minum menunggu hujan agak reda. Sinyal HP masih bisa ditangkap, masuk sms senior  yang meminta turun lagi khawatir ada apa - apa. Tapi entah kenapa dalam hati malah bersyukur dengan tantangan alam ini. Satu nyali, Wani! Lanjutkan perjalanan! Lagian saya ini sejak dulu type Lone Wolf. Senang berpetualang sendirian. Dan apalah arti petualangan bila tak ada tantangan di dalamnya.


Air Kehidupan

Kali tiban, Jalan tanah menanjak berubah menjadi jalan air

Hujan masih deras, celana jeans basah kuyup. Bagian atas terlindungi jaket parasut. Agak kedinginan juga, sepatu gunung  kemasukan air dan kaos kaki tak lagi memberi hangat tapi memberi beku. Hp dan dompet terpaksa dibungkus dengan plastik. Hp saya matikan dengan pertimbangan siapa tahu bisa menarik petir. Menengok keadaan sekitar. Jalan setapak berubah menjadi kali tiban. Derasnya air hujan mengalir membuat beban makin berat. Beberapa ibu - ibu petani menyarankan juga untuk mengurungkan perjalanan tapi entah hati tetap nekad menentangnya. Melambaikan tangan melanjutkan perjalanan. Kilat menyambar - nyambar tapi hati tak ada gentar.
Teman berteduh

Jalur itu telah banyak berubah, tak seperti masa kecil dulu. Ada jalur - jalur baru bekas jejak motor, menjadi jalur menerabas motocross. Ditambah lagi karena derasnya hujan membuat jalan susah dikenali. Beberapa kali terkecoh salah jalan karenanya. Untunglah kadang bertemu dengan petani dan seorang pegawai Perhutani yang membantu memberi arah membetulkan jalurnya.

Gerbang

Kabut turun, Hujan mereda.Tanah basah. Gelap terbit angkuh berkuasa dengan sombongnya.

Saya bersyukur jalur perkebunan dan pertanian telah selesai biarpun basah kuyup. Lanjut masuk jalur jalan setapak di hutan. Sebuah kebiasaan lama mengucapkan salam baik kepada yang terlihat maupun yang tak kasat mata. Konon inilah salah satu gerbang gaib menuju ke alam lain gunung ini. Saya bertanya di dalam hati;

" Kemana kau, Rasa takutku... Tak muncul juga detik ini.."

Untunglah fisik bugar. Tak sia - sia merelakan waktu jogging satu jam setiap harinya. Tapi penderitaan sebenarnya dimulai dari sini. Korek basah semua padahal saya membawa tiga korek api gas. Korek yang dibungkus dengan plastik pun tak bisa menyala dan bagi seorang perokok berat seperti saya; Ini benar - benar siksaan nyata! Rokok adalah sahabat terdekat saya dalam ribuan perang menghadapi musuh bernama sepi tapi kini dia mati suri tak bernyala di sela jari. Teman sementara tinggal permen karet dan nyali serta sebatang tongkat kayu yang tak sengaja berjodoh dalam perjalanan ini.

Baru saja memasuki jalur hutan disambut dengan datangnya ujian tambahan. Kabut tebal dengan jarak pandang maksimal antara 3 sampai 5 meteran. Saya pernah mendapat cerita dari pengalaman beberapa kenalan pemburu. Yang paling mereka takuti kalau di hutan itu bukan makhluk gaib, bukan pula binatang buas. Hal paling mencekam itu saat terjebak kabut di tengah hutan. Semua terlihat sama. Indra penglihatan benar - benar terbatas penggunaanya. Ada godaan lewat perang batin di hati yang mengajak membatalkan perjalanan dan merayu lalu kemudian menakut - nakuti dengan bayangan kemungkinan buruk yang mengerikan.

"Hey,bukankah ini yang kamu cari.. Tantangan! " Otak konyol kembali memanasi hati sekali lagi. Rasa takut tak juga muncul, malah hadir senyum kecil di bibir nurani. "Ini benar - benar menjadi perjalanan yang menarik... "

Entah berapa menit di jalan menanjak dan bercabang, semua terlihat sama. Beberapa persimpangan jalan setapak mulai membingungkan. Bapak pernah berkata kepada saya waktu jaman kecil dulu saat berjalan - jalan di hutan;

 " Keimanan, keteguhan, nyali, keberanian, hal yang paling dicintai, bahkan  hal  yang paling dibenci seorang itu akan benar - benar terlihat saat kita sendirian, benar - benar sendirian. "

Detik itu yang pertama terlintas di benak adalah Tuhan, senyum ibuk, tawa bapak, foto keluarga bersama kakak dan adik serta bayangan indah wanita - wanita  dari masa lalu diselingi kenangan derai tawa sahabat. Dalam pekatnya kabut, hal - hal yang berarti di hati malah makin jelas penampakannya. Entah sudah berapa puluh menit terlewat saat itu. Rasa takut tak juga muncul.

Ditemani gelapnya kabut, tetes hujan, gesekan angin dengan dedaunan. Suara burung yang menambah suasana mencekam. Kaki mulai agak berat melangkah tapi hati tetap tegak. Sayup selintas terdengar pelan suara adzan yang terbawa angin. Kiranya baru sekitar jam 12an tapi suasananya seperti malam hari. Hati makin saya tegakkan lagi. Memantapkan diri pasti bisa bertahan, sukses menjalankan misi  dan pulang selamat dalam keadaan hidup. Seperti pesan Sanpo ;

 " Jangan pernah tinggalkan sampah dan nyawamu di gunung!!"

Ujian fisik dan mental mulai naik ke level selanjutnya. Merangkak, terpeleset dan bangkit melangkah lagi. Salah jalur, membalik lagi, nyaris terperosok di perengan, jurang yang entah berapa kedalamannya hanya terlihat gelap dan putih kabut menyelimuti permukaannya. Senjata utama cuma sebatang kayu yang saya temukan ketika perjalanan. Parah juga ternyata, tak sadar berputar - putar salah jalur sampai tersesat ke Gunung Gendol padahal beda arah kalau mau menuju kawah. Buta arah karena tidak ada matahari akhirnya teringat ajaran bapak tentang belajar dari pohon dan air. Menghibur diri dengan percakapan konyol dalam hati. " Kalau bisa menemukan ladang ganja, lumayan juga ini... :)) "

Saya berhenti beberapa saat duduk di bebatuan. Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Yang disayangkan saat itu sama sekali tidak membawa senjata tajam baik berupa parang maupun belati. Terbersit untuk mempersiapkan diri bermalam di hutan. Daripada mati konyol kedinginan dan kelelahan memaksakan diri. Bisa - bisa kalau dilanjutkan dengan nekad dan konsentrasi berkurang maka nyawa tinggal menunggu waktu untuk melayang. Konsentrasi jadi senjata utama, banyak jebakan maut yang menanti terutama beberapa longsoran di tepian jalan setapak yang jadi semacam short cut menuju kematian. Perbekalan saya iritkan, dengan pertimbangan kalau terpaksa bermalam harus ada yang dimakan nanti malam. Untuk air minum tak ada yang perlu dikhawatirkan, air hujan melimpah sebagai persediaan. 

Sempat berpikir juga apa kena Akar Rimang ( Oyot Rimang ), Sesuatu hal gaib yang susah dilogika tapi banyak yang merasa kena. Siapa yang kena itu hanya bisa berputar - putar saja di hutan tanpa bisa menemukan jalan keluar. Akal sehat saya paksakan bangkit lagi diantara kelelahan fisik dan mental. Kembali ajaran bapak tentang alam terngiang.

"Air adalah sumber kehidupan. Kalau tersesat di hutan ikuti saja jalannya air, kita pasti akan menemukan kehidupan. "

Setelah entah berapa lama berputar di hutan tak muncul juga cemas dan takut. Satu yang layak disyukuri, saya tidak mengajak seorang kawan pun di perjalanan ini. Hati untuk kondisi saat ini hanya bisa menyangga satu nyali. Mencoba menghidupkan HP mau melihat waktu pasti. Pukul 13: 27. Masih siang tapi belajar dari pengalaman kebiasaan gunung ini sampai malam pun akan tetap seperti ini di musim hujan. Mencoba mengambil foto tapi kamera mengembun. Saya matikan HP mencoba juga mengirit batere. 

Sambil istirahat berteduh dibawah lempengan batu kemudian menghidupkan senter. Ternyata saya tidak sendirian, beberapa penghuni gunung ini banyak yang menemani. Lintah dan pacet di kaki dan sudah mulai kekenyangan melihat bentuk tubuhnya. Mencoba membuka jaket dan ternyata begitu juga kondisi di tangan, untunglah tidak sampai ke tubuh. Tak percuma membawa rokok kretek. Saya ambil beberapa batang dan dimasukkan ke botol air mineral untuk mandi. Yah, mandi air tembakau sebagai musuh alami pacet dan lintah. Lemas mereka terkena air tembakau. Lepas dengan terpaksa dari kulit tubuh. Baju dan celana saya basahi juga dengan air tembakau sebagai pencegahan. Badan mulai menggigil kedinginan. Mencoba bersenam kecil - kecilan buat menghangatkan diri. Untuk jaga - jaga lagi, tubuh dan terutama alat kelamin saya taburi tembakau basah endapan di botol mineral ( Rasanya panas banget di alat kelamin :D ). Kembali memakai baju. Kembali juga memakai logika. 

Secara perhitungan pribadi, indra penglihatan tidak bisa terlalu banyak diandalkan. Indra pendengaran dan penciuman benar - benar harus dipertajam. Memejamkan mata,mengatur nafas seperti pelajaran meditasi dari kakek dulu. Berdoa dan menenangkan diri. Mencoba menggali pengalaman yang terlupa setelah sekian lama bercengkrama bersama alam. Mencoba berpikir sebagai alam, menyatukan diri sepenuhnya dengan alam.

" Apa yang harus saya lakukan??? " Pertanyaan di awal sebelum memejamkan mata tadi.

Dalam gelap dan iringan suara hewan yang sedikit mencekam tetiba saya membaui belerang walaupun hanya selintas. "Ah, bau mulut Rahwana.." saya tertawa gembira. Mengemut ujung jari telunjuk dan menengadahkan ke langit, membaca arah angin. Mantap melangkah lagi. 

Banyak sisa jejak langkah yang menipu. Kalau diikuti kadang berujung di perengan atau jurang. Ada juga yang berujung pada bekas penebangan pohon orang mencari kayu bakar. Kadang terhenti di longsoran tanah yang tak kuat menahan irisan hujan. Saya juga mulai benar - benar teliti mencermati pohon dan rerumputan. Bila ada bekas cakaran  di batang pohon atau pijakan di rumput apalagi kotoran hewan maka kewaspadaan harus ditingkatkan. Satu pesan dari senior tadi yang kembali teringat, Waspadai ular dan macan kumbang. Memang ada beberapa kawan yang pernah bercerita mereka terkadang melihat sorotan sinar tajam yang bercahaya di kegelapan di atas pohon dan dedaunan saat berkelana di hutan ini.  Kemungkinan besar  itu macan kumbang.

Setiap ada jalan yang membingungkan kemudian saya tandai dengan kayu atau mengikat rumput sebagai  kode larangan. Setiap jalan yang mantap dilalui, kadang saya kasih tanda sisa permen karet. Lama melangkah dan sedikit ada perasaan samar seperti  pernah menginjak jalur ini akhirnya ketemu dengan batu yang saya ingat pada masa kecil dulu. Mungkin hanya sekitar seratus meteran lagi akan sampai ke hutan di komplek candi walaupun jalannya akan sangat menanjak, berdasar kelebatan memori masa kecil dulu. Terus merangkak dan memanjat diantara jalan setapak yang telah berubah menjadi jalan air.

Bau belerang semakin jelas, satu dua bungkus permen atau bangkai bungkus rokok yang tinggal plastiknya saya temukan. Ada juga botol air mineral yang kemudian saya punguti. Tak berapa lama kemudian sampai juga di kompleks candi yang saya lupa candi keberapa. Yang jelas  ada lapangan luas di pelatarannya. Suasana benar - benar sunyi. Hujan masih mendera,kabut masih setia menemani. Syukur dipanjatkan. "Misi terselesaikan kurang lebih pukul 3an karena ada suara adzan Ashar. " selintas berkata dalam hati dengan leganya.

Setengah berlari kecil menuju gardu pandang yang sepi. Mencopot baju, jaket, celana jeans dan hanya meninggalkan celana boxer saja. Saya teruskan dengan membersihkan sepatu yang di dalamnya ternyata ada beberapa lintah. "Mungkin mereka kecanduan dengan bau kaos kaki saya.." batin bercanda mengusir sepi .

Saya rayakan pencapaian ini dengan merokok setelah bisa menyalakan korek dan menghabiskan 1 botol penuh minuman isotonik ( Sayang tidak membawa bir.. :P ). Ada sedikit kecewa, saya tidak bisa bertemu juga dengan rasa takut di hari ini tapi dominan rasa syukurnya karena bisa menemukan banyak ide untuk tulisan. Banyak kenangan baru yang dibuat dan kenangan lama yang terbangkitkan. Mencoba nyalakan HP untuk foto dokumentasi tapi kamera HP berembun dengan parah lalu terpaksa  dimatikan lagi setelah mengirim sms kepada senior.

"Misi selesai dengan selamat dan sukses.. SOS butuh kopi panas secepatnya..Sekali lagi saya tekankan.. Butuh kopi panas secepatnya, Komandan!! " begitu isi sms tadi.

Istirahat mungkin baru seperempat jam menghabiskan dua batang Marlboro kembali teringat bekas permen karet yang tertinggal di hutan sebagai penunjuk arah. Sebenarnya kalau sudah sampai komplek candi mau pulang semudah menghisap rokok. Banyak ojek yang menanti di parkiran halaman gerbang depan loket Objek Wisata Candi Gedong Songo.

"Jangan pernah tinggalkan sampah dan nyawamu di gunung!!! " Kembali hati berkata mengingatkan diri.

Mencoba menghitung waktu dan memakai logika. Akhirnya untuk pulang memantapkan diri  lewat jalur pendakian tadi. Saya kemasi dan rapikan barang memulai perjalanan pulang. Entah kenapa mudah sekali pulangnya. Lelah sepertinya tertinggal di tempat peristirahatan tadi. Ringan melangkah menapaki jalan setapak mengikuti aliran air kehidupan.

Saya tertawa kecil setiap menemukan permen karet, kayu ataupun rumput yang tertinggal sebagai penanda jalan. Saya punguti setiap permen karetnya. Sambil berterimakasih kepadanya bersedia menunggu dengan setia dan percaya kalau saya akan kembali menjemputnya. 

Kabut sebenarnya masih tebal tapi gelapnya kabut diterangi nyali dan kebahagiaan untuk perjalanan pulang kali ini. Hutan seperti memberi selamat dan membukakan jalan lapang yang tadi dia tutupi sebagai ujian. Mungkin tak ada satu jam tak terasa sudah sampai tepian hutan. Tongkat pinjaman alam saya kembalikan dengan menancapkannya di perbatasan gerbang hutan menuju area pertanian. Kemudian saya membungkuk dengan sikap sempurna layaknya orang jepang memberi hormat. Saya akhiri ritual pribadi sejak dulu ini dengan sujud mencium tanah basah, menghirup baunya yang entah kapan lagi bisa saya nikmati. Melayangkan batin dan pandangan mencoba membuat potret di dalam hati sebagai kenang - kenangan.  Melambaikan tangan kepada Sang Hutan beserta semua penghuninya sebagai tanda perpisahan. Berterimakasih akan pengalaman dan kebahagiaan yang didapat lewat perjalanan ini.

SALAM LESTARI BUNDA BUMI....  DOAKANLAH ANAKMU INI SEKALI LAGI BISA  DIBERI KESEMPATAN MEMELUK INDAH TEMPAT INI...

Jalur area pertanian bagai jalan raya bila dibandingkan jalur hutan, Jalan menanjak memang beda jauh dengan jalan turun. Tak ada seorang pun petani yang berpapasan saat perjalanan pulang. Sambil merokok, bersiul kecil, ringan langkah kaki berjalan. Pukul setengah limaan lebih sampai di depan rumah senior. Lampu rumahnya sudah banyak dinyalakan, hujan agak sedikit reda tapi ada riuh di rumahnya sedang dia belum  membalas sms saya tadi. Ingin mampir tapi tidak enak hati khawatir kalau sang kripton masih disitu. Akhirnya dengan berat hati langsung pulang ke rumah. Sayang sekali terpaksa merelakan diri melewatkan kopi panas buatannya dan percakapan sesama manusia yang jatuh cinta kepada buminya.

Ada satu dua lintah yang ternyata menempel di tubuh saat melepas celana mau mandi, Saya usap dengan air tembakau untuk menenangkannya. Ada satu dua pelajaran yang didapat pada perjalanan ini, Saya tuliskan di diary dan blog sebagai penanda dan monumen kasih Tuhan lewat  alam ciptaan-Nya.

Jangan pernah remehkan alam
Jangan pernah salahkan alam

Terimakasih tak terhingga kepada Tuhan dan ciptaan-Nya yang bernama Bunda Bumi. Hari ini Rahwana dan belaiannya sungguh meninggalkan kesan yang berarti di hati. Mungkin tak menemukan rasa takut yang saya cari tapi hati berkata inilah yang Tuhan mau dan akan sangat saya butuhkan suatu hari nanti. Terimakasih  masih diberi nyawa dan masih bisa berbahagia sampai detik ini.

( Utang janji kepada Mas @agus_noor untuk membeli Buku tulisannya bila pulang masih bernyawa. #CeritaBuatParaKekasih. Target terakhir buku di bulan ini. Rencananya mau ke gramed tapi ternyata tubuh tidak mau kompromi, mesti istirahat penuh hari ini. )

2 comments:

  1. Amazing om. Tulisan2nya beda dr yg lain. PandanganY jg unik. Senang jk bs berkenalan.. :)

    ReplyDelete
  2. Maap lg sempat OL baru pulang main di rimba.. :))
    Makasih pujiannya.. Senang jg bs berkenalan..udah sy FB jg di twitter :)

    ReplyDelete